• Selamat Datang di Website Resmi Swastika Bali - Merupakan organisasi independen yang terdiri dari kaum intelektual yang bersatu dan ingin ngayah untuk Bali. Organisasi yang mengangkat "Ngardi Bali Santhi" sebagai tag line nya mengajak seluruh pemuda pemud
    • Ngardi Bali Shanti, ini adalah suatu kumpulan kata2 yang mempunyai niat untuk melakukakan sesuatu agar tercipta suatu kedamaian yang sejati, bukan hanya untuk diri sipembuat, tapi untuk jagat Bali beserta isinya, Buana Agung dan Buana Alit.
Baca Artikel

Pengembangan Desa Wisata

Oleh : swastikabali | 09 Februari 2017 | Dibaca : 2351 Pengunjung

Pengembangan Desa Wisata

(Dinarasikan dari Hasil Loka Karya Merevitalisasi Perekonomian Desa

Melalui Pengembangan Desa Wisata Gunung Salak, 27 Januari 2017)

 

Peran dominan pariwisata di Bali telah secara langsung dirasakan. Pariwisata telah berperan dominan dalam pembentukan PDRB Provinsi dan beberapa Kabupaten/Kota di Bali. Pariwisata juga telah secara langsung dan melalui multiplier efeknya memberikan kontribusi dalam perekonomian masyarakat. Namun tidak dimungkiri juga bahwa sebagian besar hasil pariwisata dinikmati oleh investor, pemilik modal yang bahkan berasal dari luar Bali, artinya masyarakat Bali hanya menikmati sebagian kecil dari kekayaan potensi pariwisata yang ada di wilayahnya. Perkembangan pariwisata dengan efek demonstratifnya, tidak dapat disangkal juga menimbulkan ekses negatif. Situasi ini perlu diperbaiki, dengan mengupayakan pengembangan pariwisata yang semakin besar memberikan kesejahteraan dan yang semakin kecil menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat Bali.

Pariwisata Bali dikembangkan dengan tema pariwisata budaya. Kepariwisataan Budaya, sebagaimana diatur Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 adalah sebuah konsep yang menyinergikan pembangunan ekonomi, kebudayaan dan lingkungan, yang bertujuan 1) melestarikan kebudayaan Bali yang dijiwai nilai-nilai Agama Hindu, 2) menciptakan pertumbuhan ekonomi, 3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 4) menciptakan kesempatan berusaha, 5) menciptakan lapangan kerja, 6) melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, 7) mengangkat citra bangsa, dan 8) memperkukuh rasa cinta tanah air, kesatuan bangsa dan mempererat persahabatan antarbangsa. Kebudayaan Bali tidak bisa dipisahkan dengan desa, utamanya desa pakraman. Desa yang indentik dengan pertanian dengan segala propertinya adalah tempat lahir, tumbuh dan berkembangnya keunikan kebudayaan Bali. Dengan demikian desa-desa di Bali adalah aset dan sekali gus penjaga aset pariwisata Bali, yang seharusnya menikmati manfaat terbesar dari perkembangan pariwisata Bali.

Namun faktanya, desa yang didominasi perekonomian berbasis pertanian, di Bali sebagaimana di seluruh Indonesia sering kali tertinggal dalam proses pembangunan. Sepanjang 1999-2011 misalnya, persentase penduduk miskin perdesaan selalu lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (Mudradjad Kuncoro, 2013). Sementara, BPS Bali dalam Indikator Makroekonomi Bali 2014, mencatat bahwa pada tahun 2014 persentase penduduk miskin di perdesaan sebesar 5,34 persen, lebih besar daripada yang terjadi di perkotaan yang hanya sebesar 4,01 persen. Hal menarik lainnya, adalah fenomena masuknya pekerja migran nonpermanen dari luar Bali ke Tabanan untuk mengerjakan pekerjaan pertanian, sementara pekerja lokal memilih meningkalkan pekerjaan pertanian di desa untuk bekerja di sektor nonpertanian, khusunya di sektor pariwisata di luar Tabanan (Sudibia, 2012). Fakta ini menujukkan, bahwa desa-desa di Bali belum menikmati secara maksimal dampak positif perkembangan pariwisata. Apabila ini dibiarkan, semakin banyak orang yang meninggalkan desa untuk bekerja di kota yang mengakibatkan pengurangan dukungan penduduk terhadap tumbuh dan berkembangnya keunikan kebudayaan Bali. Dalam jangka panjang hal ini akan mengurangi peran desa sebagai penjaga terakhir keunikan kebudayaan Bali. Kehilangan keunikan kebudayaan Bali sama dengan akan kehilangan pariwisata dan dalam jangka panjang akan kehilangan perekonomian.

Untuk mengurangi atau untuk mengantisipasi hal ini terjadi (karena banyak pihak yang sangat yakin bahwa kebudayaan Bali belum dan tidak akan pernah hilang), atau setidaknya memperlambat proses ini, dibutuhkan upaya untuk mengurangi migrasi dari desa ke kota, antara lain dengan menciptakan lapangan kerja dengan upah yang layak di desa, membangun perekonomian yang menyejahterakan masyarakat desa.

 

Desa Wisata sebagai alternatif model Pengembangan Pariwisata

Selama ini, kita lebih banyak melihat desa sebagai obyek yang dikunjungi wisatawan untuk melihat atraksi, pemandangan dan sedikit berbelanja serta berfoto-foto (terutama wisatawan domestik) kemudian meningalkan desa beberapa menit atau jam kemudian. Konsep ini oleh Swastika Bali lebih disebut Wisata Desa. Yang sedikit lebih baik adalah pengembangan desa wisata dengan akomodasi pariwisata, namun akibat rancangan dan sistem pengelolaannya kurang maksimal, banyak diantaranya tidak cukup berkembang.

Desa Wisata dalam konsep Swastika Bali dapat digambarkan 1) mengembangkan secara terpadu keseluruhan potensi dan keunikan wilayah desa setempat dalam bingkai pariwisata. 2) mengembangkan dengan penyediaan atraksi dan akomodasi secara terpadu dalam sebuah kawasan Desa Wisata, 3) mengembangkan masyarakat melalui koperasi sebagai investor dan sekaligus pengelola (body cooperate) sehingga menghadirkan pariwisata dari, untuk dan bagi masyarakat, 4) menyerap semaksimal mungkin tenaga kerja setempat, yang dimaksudkan memberikan kesempatan kerja sehingga dapat menjaga penduduk tetap tinggal di desa.

Selanjutnya, Ketut Suwandi, dari partai Golkar, yang juga adalah Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali, menambahkan bahwa pembangunan Desa Wisata dapat mengantisipasi dan menghilangkan perkembangan pariwisata tidak terarah di beberapa desa yang menimbulkan dampak negatif. Misalnya tumbuhnya bungalow dan kafe dengan dampak negatif ikutannya. Selanjutnya, peserta dari Asosiasi Manager Hotel menegaskan bahwa Pembangunan Desa wisata yang bertujuan memberikan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang seharusnya sudah sejalan dengan prinsip Sustainable Tourism, Ecotourism, Community Based Tourism.

Dengan konsep tersebut disadari mengembangkan Desa Wisata tidak gampang dan juga tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Pengembangan Desa Wisata tidak gampang karena 1) begitu kompleksnya persoalan, yang meliputi persoalan lingkungan, ekonomi, manusia, dan tata-nilai sosial budaya setempat yang akan berhadapan dengan tuntutan wisatawan dengan berbagai kebutuhannya, 2) semakin tingginya tingkat persaingan dengan banyak destinasi pariwisata di Bali (lokal), regional dan internasioal, dan 3). Harapan dari kosep ini yaitu menciptakan pariwisata yang lebih berdimensi keadilan dan menyejahterakan masyarakat setempat dalam jangka panjang.

Kerumitan dan kesulitan-kesulitan ini terungkap dan kemudian mendapat banyak masukan dalam Loka Karya Revitalisasi Perekonomian Desa melalui Pembangunan Desa Wisata Gunung Salak, yang diselenggarakan oleh Swastika Bali di Restoran Ayusius 27 Janjuari 2017. Loka karya ini menampilkan pembicara tunggal yaitu Ida Bagus Giri Suprayatna dan dipandu oleh Putu Moda Arsana (ke duanya dari Swastika Bali) dan menghadirkan berbagai stakeholders (legislatif, eksekutif, akademisi, praktisi, dan beberapa warga masyarakat Desa Gunung Salak).

Eka Mahadewi, Dosen STP Bali yang juga adalah warga Desa Gunung Salak dengan sangat hati-hati mengingatkan keberadaan harmoni tata-nilai setempat yang tidak boleh dirusak. Lebih jauh disarankan untuk menggali lebih dalam aspek-aspek arkeologis dan antropologis di balik fakta-fakta kasat mata di Desa Gunung Salak, yang bisa jadi adalah keunikan yang layak dijual sebagai atraksi pariwisata. Hal senada diungkapkan oleh Nyoman Sumartana, warga lain desa Gunung Salak, yang juga Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Tabanan, yang sangat konsen dengan kebudayaan, yang mengingatkan beberapa aspek spiritual dan mengingatkan keberadaan Pura Aseman ring Manik Hyang yang dipercaya sebagai tempat dimana konsep subak dilahirkan, yang juga dapat dikemas dengan cerdas menjadi daya tarik pariwisata.

Cokorda Artha Ardhana Sukawati, mewakili PHRI, sebaliknya mengingatkan bahwa kekayaan potensi yang dimiliki oleh Desa Gunung Salak belum menjamin keberhasilan pengembangan Desa Wisata dan lebih menyoroti pembangunan manusia sebagai hal terpenting atau setidaknya tidak kalah penting. Pembangunan manusia harus menyeluruh dimulai dari membangun sikap mental sampai membangun keterampilan sebagai pekerja sesuai kebutuhkan pariwisata tanpa meninggalkan keunikan nilai kebaliannya. Intinya adalah menyiapkan manusia dan masyarakat yang siap menerima dan terlibat langsung dalam pariwisata tanpa kehilangan nilai-nilai manusia dan masyarakat Bali. Karenanya ditegaskan bahwa pembangunan manusia/masyarakat dan lingkungan termasuk infrastruktur pariwisata harus dilakukan secara paralel yang kenyataanya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Pemberdayaan masyarakat menurut Umar Dani (anggota DPRD Tabanan dari PDIP) diantaranya dapat dilakukan melalui meningkatkan intensitas komunikasi/sosialisasi dan pelibatan masyarakat pada setiap tahap kegiatan.

Kerumitan semakin tergambar dalam hal investasi dan pengelolaan Desa Wisata oleh masyarakat dalam bentuk koperasi. Bagaimanakah cara kerja koperasi yang akan menarik uang untuk investasi dan mengelola berbagai jenis bisnis dengan berbagai kegiatan di sebuah Kawasan Desa Wisata. Misalnya saja bagaimana mengelola beberapa unit penginapan, bagaimana mengelola anjungan-anjungan (atraksi pariwisata), bagaimana mengelola petani dan pertaniannya dalam kaitannya dengan pariwisata. Akhirnya bagaimana mengelola secara terintegrasi semua potensi tersebut untuk menghasilkan pariwisata yang memberikan manfaat lebih maksimal kepada lebih banyak warga masyarakat. Perumusan model pengelolaan ini, menurut Wayan Karioka, Direktur ITDC diantaranya dapat dilakukan dengan mempelajari varian model-model pengelolaan yang sudah ada, sekaligus diingatkan pentingnya meningkatkan performance pariwisata Bali di tengah kompetisi semakin ketat.

Gambaran di atas menegaskan betapa pengembangan dan membangun manusia untuk memenuhi konsep Desa Wisata ini menjadi persoalan yang tidak sederhana. Bahkan diingatkan oleh Kepala Bappeda Provinsi Bali, agar proses pembangunan Desa Wisata sekaligus adalah proses pemberdayaan manusia dan masyarakat untuk mampu mengakomodasi kebutuhan wisatawan sekaligus tetap mampu menjaga nilai-nilai ke-Baliannya.

Sementara Anak Agung Adhi Ardana, anggota Fraksi PDI DPRD Provinsi Bali menyoroti dasar hukum dari pengembangan Desa Wisata untuk menghindari pelanggaran baik dalam perencanaan maupun eksekusi perencanaan di lapangan. Menanggapi hal ini, Kepala Bappeda Tabanan, walaupun tidak secara spesifik menyebut Desa Wisata, mengungkapkan bahwa dalam Tata Ruang Kabupaten Tabanan, Wilayah Desa Gunung Salak yang diusulkan sebagai Desa Wisata sudah tercakup di dalam Rencana Kawasan Pengembangan Prioritas Nasional (KPPN). Namun, karena diharapkan Desa Wisata adalah sebuah model yang dapat dikembangkan di lokasi/kabupaten lain sesuai dengan potensinya, maka pengembangan dasar hukum dan aspek legal lain terkait Desa Wisata baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota menjadi penting.

 

Sinergimultistakeholders

Mengingat tujuan yang ingin dicapai oleh Pengembangan Desa Wisata, ditegaskan oleh Putu Astawa, pengembangan Desa Wisata ini tidak boleh gagal

Kalau mau cepat berjalanlah sendiri, tetapi kalau mau berjalan jauh berjalanlah bersama, Satu (sendiri) terlalu sedikit untuk sebuah pekerjaan besar. Sejalan dengan adagium itu, pegembangan Desa Wisata, yang sulit, rumit dan berjangka panjang, bahkan disadari sebagai proses membangun sebuah peradaban, maka sinergi multistakeholders, sebagaimana ditegaskan Anak Agung Adhi Ardana adalah sebuah keniscayaan. Diperlukan pembagian dan sekaligus sinergi peran berbagai pihak, Quadro helix (pemerintah di tiga level, swasta, akademisi dan masyarakat). Hal yang penting dicatat, stakeholders dalam forum ini menyatakan dukungan dan kesiapan untuk bersinergi sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing. Langkah selanjutnya adalah pematangan konsep Desa Wisata dengan menerima berbagai masukan, kritik serta penkajian secara mendalam setiap aspeknya dari berbagai stakeholders untuk menghasilkan sebuah model alternatif yang akan menjadi program bersama, Pengembangan Desa Wisata

Ketika gagasan sudah dimunculkan oleh Swastika Bali, Gubernur Bali sudah memberi dukungan bahkan menganggarkan penyusunan master plannya pada tahun 2017, dan DPR melalui Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali sudah menyatakan dukungannya maka Bagi Swastika Bali there is no point to return. Ini adalah kesempatan dan sekaligus tantangan besar bagi Swastika Bali yang mengusung Tag line Ngardi Bali Shanti untuk membuktikan komitmennya. Masyarakat Bali menunggu hasilnya (Nyoman Sukamara).


Oleh : swastikabali | 09 Februari 2017 | Dibaca : 2351 Pengunjung


Artikel Lainnya :

Lihat Arsip Artikel Lainnya :